Sambil memandangi kalender di lembaran terakhir, Aina sibuk menghitung-hitung. Tangannya asyik mencoret-coret lembaran kertas yang tak putih lagi. Deretan huruf dan angka seakan berebut tempat di sana. Nyempil pun, oke-lah.
'Hotel sudah,' gumam Aina sambil mencoret checklist.
'Dana untuk beli oleh-oleh, sudah.'
'Sewa bus, nasi box dan snack, air mineral, jajanan ... semua sudah.'
Aina mencoret daftar di tangannya dengan senyum terkembang.
'Beres,' ujarnya sumringah. Lalu dikembalikannya kalender itu ke tempat semula. Wajahnya menyiratkan rasa puas.
••••
#Ayah
Tibalah hari H. Semua sudah siap dengan bawaan masing-masing. Bus yang dipesan, terparkir manis di ujung gang, menunggu penumpang yang sedang harap-harap cemas. Menanti.
"Ayah, mana, yaa? Kok belum nampak?"
"Aina, coba ditelepon. Barangkali ada sesuatu di jalan. Macet, atau ... apa." Pak Suhar berusaha meredakan gusar yang nampak jelas di wajah Aina.
"Tidak aktif, Pak."
"Coba lagi. Mungkin jaringannya bermasalah."
Pak Suhar masih kalem.
Pak Suhar masih kalem.
"Ayah. Sampai di mana? Ini sudah ditungguin."
"Ditungguin? Emang, Ayah mau ke mana?" Jawaban itu sungguh membuat Aina mengerenyit. Sepertinya ...
"Aduuuhhh ... aku lupa. Ayah belum kubelikan tiket ke sini!" seru Aina. Ia pun menggelosor ke lantai.
Nangis sesenggukan.
"Astagaa."
Pak Suhar ikut menepuk jidat.
~~•••••~~
Jakal, 12 Desember 2018